tugas

Published 26 Desember 2010 by RahayuAdriani

Sunting
tugas
oleh 미친개구리 pada 19 Oktober 2010 jam 15:21

Tugas Birokrasi Dalam SANI

Kelompok 2

Otonomi Daerah yang Berhasil dan yang Tidak Berhasil

1. Yang Berhasil

– ditinjau dari bidang pendidikan

Pemberlakuan otonomi daerah mulai diterapkan melalui UU Nomor 22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan Bidang Pendidikan.

Dalam konteks otonomi daerah, pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah digagas dan diawali dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan Bidang Pendidikan. Pelimpahan wewenang ini diteruskan dengan dikeluarkan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan system pembiayaan daerah yang adil, trasparan dan bertanggung jawab.

Pemerintah daerah dengan legitimasi UU ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan; sejak mulai tahap perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional. Pengaturan otonomi daerah dalam bidang pendidikan secara tegas dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang mengatur tentang pembagian kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Semua urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan provinsi tersebut sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota.

Pemerintah melalui program-program pendidikannya sebenarnya telah berusaha untuk terus memperbaiki sistem pendidikan dan mutu material (kurikulum) pendidikan di Indonesia. Usaha ini tercermin dalam berbagai perubahan kurikulum yang pernah ada, mulai dari kurikulum 1968, Kurikulum 1975, kurikulum 1984, Kurikulim 1994, KBK dan KTSP (Abd. Rachman Assegaf, 2005). Tampak sekali hal ini dilakukan sebagai usaha untuk memeperbaiki system dan mutu materi pendidikan di Indonesia. Namun alih-alih mencapai sasaran, pembangunan pendidikan melalui perubahan kurikulumnya ini nampak sekedar aksi trial-error buah dari peralihan kepemimpinan di tingkat pemegang kuasa politik di Indonesia. Usaha “uji coba” kurikulum ini merupakan subtansi dari tujuan pendidikan yakni pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang menjadi hak setiap warga negara.

Yang perlu diketahui bahwa otonomi daerah yang berimplikasi pada otonomi pendidikan ini dibangun atas dasar filosofi bahwa masyarakat di setiap daerah merupakan fondasi yang kuat dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) secara nasional. Sisi moralnya adalah bahwa orang-orang daerahlah yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri. Penyelenggaraan otonomi daerah semestinya mendorong terjadinya proses otonomi pendidikan di tingkat daerah. Adanya Otonomi daerah dan otonomi penyelenggaraan pendidikan daerah bertujuan agar pengelolaan dan menyelenggarakan pendidikan lebih sesuai dengan konteks kebutuhan daerah yang bermutu dan adil.

Hasil dari otonomi daerah dan otonomi pendidikan adalah out put yang cerdas secara nasional dan arif dalam tingkatan local. Out put yang cerdas dan arif ini secara umum akan membentuk tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik, berhasil dan produktif sesuai dengan konteks dimana ia berada. Dan melalui pendidikan yang mengerti lokalitas (yang sesuai dengan kebutuhan daerah) menjadi satu-satunya media pembentuk masyarakat tamadun (beradap), yang menjadikan manusia berada pada piramida tertinggi dalam pola relasi kehidupan di dunia (khalifatullah fil Ardh) berguna dan bernilai sesuai dengan konteks kedaerahan dan kebutuhan masyarakatnya.

2. yang tidak berhasil

– kesenjangan antar daerah pada masa otonomi daerah

Masalah akhirnya berkembang, jika dahulu otonomi muncul sebagai obat penawar bagi ketidak-adilan, malah sekarang di era otonomi disalahgunakan oleh penguasa lokal untuk melakukan ketidakadilan pembangunan, dan melupakan tujuan awal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publiknya. Masalah lainpun bermunculan, seperti semakin senjangnya kualitas pembangunan manusia, menurunnya kualitas lingkungan dampak rusaknya lingkungan yang diakibatkan dari eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali, bahkan malah makin marak di era otonomi daerah.

Kemudian, sejak otonomi bergulir kesenjangan pembangunan itu terjadi tidak hanya dalam satu daerah, tetapi juga antar daerah, atau sederhananya secara holistik antar satu daerah dengan daerah lainnya juga semakin timpang. Terdapat kesenjangan luar biasa antara daerah yang kebetulan memiliki SDA kaya dengan daerah yang kering kerontang. Namun anehnya, pemekaran di beberapa daerah yang tertinggal itu juga kerap diperjuangkan meski secara riil, mereka tak bisa menghidupi diri sendiri dan mandiri, semata-mata eforia dan kepentingan elit lokal untuk menjadi kelas penguasa di eksekutif dan legislatifnya. Ada suatu daerah kabupaten-kota yang memiliki anggaran trilyunan, mirisnya ada di belahan lain Indonesia yang anggarannya hanya bisa buat belanja rutin pemerintahan saja.

Kesenjangan ini juga diperparah memang dengan primordialisme daerah yang mengkristal, sehingga masing-masing daerah tidak merasa memiliki kewajiban atau sense terhadap yang lainnya. Kemudian tidak ada suatu upaya untuk melakukan sinergisitas pembangunan antar daerah yang dapat mengembangkan kapasitas pembangunannya secara bersama dan bersifat regional. Ego ini dapat terlihat riil seperti di Kalimantan Barat sendiri, antar satu kabupaten dengan kabupaten yang lainnya tidak pernah mempunyai visi dan misi yang sama untuk mengembangkan dan memberdayakan masyarakat di wilayah mereka yang berdekatan. Akhirnya masyarakat yang menjadi korban pembangunan.

Pemerintah pusat juga gagal dalam menjembatani terciptanya proses sinergisitas pembangunan antar daerah ini, sehingga tidak mampu mengeliminir terjadinya ketimpang-ketimpangan tersebut. Pemerintah pusat gagal dalam merumuskan regulasi yang cocok dan mampu menjembatani permasalahan tersebut, termasuk gagal juga merumuskan regulasi yang dapat melindungi segala sumber daya yang ada di daerah dari eksploitasi berlebihan. Dalam kasus otonomi, pemerintah pusat lebih gampang menyatakan otonomi gagal ketika mereka mengevaluasi, namun mereka tidak pernah melakukan fasilitasi dan asistensi terhadap perjalanan otonomi daerah. Bahkan dicurigai, dengan semakin seringnya kegagalan otonomi muncul, maka resentralisasi adalah jawabannya, karena sebetulnya elit pusat juga punya kepentingan agar kebijakan pembangunan tetap terfokus berada di tangan mereka.

Selanjutnya, dampak serius dari adanya masalah-masalah diatas adalah terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat seperti penanggulangan kemiskinan. Di era otonomi daerah memang sangat diharapkan memungkinkan peningkatan penanggulangan kemiskinan karena menghadapi jarak spasial maupun temporal yang lebih dekat dengan penduduk miskin itu sendiri. Problem yang kemudian menjadi tantangan bagi daerah adalah bagaimana upaya-upaya desentralisasi termasuk melakukan sinergisitas antar daerah itu benar-benar diterapkan dalam program pengentasan kemiskinan, di mana akhirnya masyarakat memiliki kemandirian untuk survive.

Kemudian, hal lain dalam otonomi yang mesti diseriusi adalah berkaitan dengan upaya menggerakkan demokratisasi. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat yang mengandung pengertian bahwa semua manusia pada dasarnya memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama. Di sini demokrasi lebih menekankan pada partisipasi dan artikulasi kepentingan rakyat dalam keputusan-keputusan publik. Pemerintah seharusnya memperhatikan kepentingan rakyat ke dalam sistem pemerintahannya. Dengan otonomi, diharapkan terbentuknya sistem pemerintahan yang demokratis, sehingga sangat penting untuk mendorong masyarakat semakin partisipatif dan berdaya menuju terbentuknya pola relasi antara rakyat dan pemerintah yang demokratis.

Tinggalkan komentar